Review: Tarian Bumi Karya Oka Rusmini


Judul: Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini
Desain cover: Fandy Dwimarjaya
Setting: Ryan Pradana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan ketiga, Maret 2017
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-602-03-3915-3








"Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh.... Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri." (hal. 25)

Novel ini bercerita tentang Telaga, seorang putri Brahmana−kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali, yang hidup di antara dua perempuan beda generasi dan kasta.

Neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada, adalah perempuan yang berkedudukan tinggi di griya−tempat tinggal untuk keluarga bangsawan. Sagra selalu menjaga wibawanya sebagai putri Brahmana. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika anak laki-laki semata wayangnya meminang Luh Sekar. Ni Luh Sekar adalah perempuan Sudra⧿kasta terendah di Bali⧿yang di masa mudanya berambisi untuk menikah dengan seorang lelaki Brahmana agar bisa mengangkat derajatnya. Ia lelah menjadi orang miskin, tidak pernah dihargai. Namun, setelah disunting oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, hidupnya tak berubah menjadi lebih baik. 

Ibu dan neneknya itu membuat Telaga jadi serba salah. Sagra sering mengingatkan Telaga agar tidak mudah menerima nasihat dari Sekar, begitu pun sebaliknya. Neneknya selalu memberikan petuah-petuah kebangsawanan kepada Telaga. Sementara itu, ibunya menuntut Telaga untuk meneruskan mimpi-mimpinya menjadi perempuan tercantik, penari terbaik, dan menikah dengan laki-laki Brahmana. Masalah yang sesungguhnya pun hadir ketika Telaga diam-diam menaruh hati pada laki-laki yang tak sesuai dengan kriteria ibunya. Memilih ibunya ataupun laki-laki tersebut, sama saja dengan mengorbankan separuh hidup Telaga.

*********

Selama ini, Bali lebih dikenal dengan eksotika pantai dan tariannya yang kerap ditonjolkan oleh media. Namun, pernahkah kita mencari tahu tentang kehidupan masyarakat di sana? Melalui novel ini, Oka Rusmini, perempuan yang mengaku telah lama berlumur adat-istiadat Bali itu, menceritakan gambaran kehidupan di sana secara gamblang dan apa adanya. Kita akan melihat Pulau Dewata itu dipadati oleh keresahan, luka, dan beban, sekaligus pemberontakan kaum perempuan.

Novel ini diceritakan melalui sudut pandang orang ketiga, dengan alur maju-mundur. Cerita memang didominasi oleh Sagra, Sekar, dan Telaga. Namun, melalui tiga perempuan beda generasi tersebut, kita juga diperkenalkan pada kisah hidup beberapa perempuan lainnya yang membersamai perjalanan hidup mereka. Mereka adalah perempuan yang menomorduakan dirinya demi kepentingan agama dan budaya. Tapi, di lain sisi, mereka juga berusaha melawan aturan-aturan yang berlaku.


"Manusia hidup memiliki keinginan, memiliki mimpi. itulah yang menandakan manusia hidup. Batu juga memiliki keinginan. Dalam kediamannya dia mengandung seluruh rahasia kehidupan ini.". (hal. 85)

Sebagian besar konflik para perempuan Bali terpicu karena masyarakat di sana selalu menilai dan menentukan segala sesuatunya berdasarkan kasta. Yang paling menonjol di sini adalah pernikahan. Mereka diwajibkan memilih pasangan hidup yang sederajat. Ketika itu dilanggar, maka pihak perempuanlah yang paling dirugikan. Mereka harus merasakan jauh dari keluarga kandungnya, tapi tak pernah dihargai oleh keluarga baru mereka. Begitu pun dalam hal kesenian. Rupanya, butuh usaha keras bagi perempuan Sudra untuk bisa mewujudkan impiannya menjadi penari. Sementara itu, para putri Brahmana harus menahan lelahnya menari di griya, dan menghabiskan waktu untuk membuat sesajen setiap harinya.

Selain kasta, perilaku kaum laki-laki pun tak kalah meresahkannya bagi perempuan. Penulis memang terkesan tidak adil. Hampir seluruh laki-laki dalam novel ini digambarkan sebagai sosok yang tak bertanggung jawab. Mereka hanya pandai menakar tubuh perempuan demi memuaskan nafsunya. Bahkan, mereka sengaja menikahi perempuan yang mandiri dan dapat menghasilkan uang agar bisa bersantai. Tak sedikit perempuan yang bernasib buruk karena ulah lelaki. Menilik pada fakta tersebut, maka wajar jika beberapa tokoh perempuan di sini sangat membenci laki-laki, lalu memutuskan untuk tidak menikah, dan lebih menyukai sesama perempuan.

"... Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus harus berani menjawabnya.... Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko." (hal. 18)

Di sini, penulis juga tak segan-segan menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah. Diceritakan melalui seorang penari terbaik yang telah mengabdikan dirinya demi melestarikan kesenian Bali. Ia juga telah mendapatkan beragam penghargaan. Tapi, tidak pernah mendapat kesejahteraan hingga akhir hayatnya. Pengetahuan dan pengalamannya dalam kesenian Bali pun hanya dimanfaatkan oleh para penulis untuk bahan tulisan mereka tanpa mendapat imbalan sepeser pun. Anggapan bahwa orang-orang asinglah yang lebih menghargai kebudayaan kita pun tidak 100% benar.

Secara keseluruhan, novel ini sangat kaya. Selain tiga hal yang saya paparkan di atas, masih banyak lagi gambaran tentang praktik budaya yang tidak manusiawi dan lebih banyak meberatkan kaum perempuan. Tidak heran jika "Tarian Bumi" menjadi fenomenal sekaligus kontroversial, karena Oka Rusmini berani mengkritik kebudayaannya sendiri. Namun, meski itu diungkapkan secara terang-terangan, saya perlu membacanya sebanyak dua kali untuk bisa memahami makna tersirat yang terkandung dalam setiap cerita. Selama membaca, saya banyak menemukan pergolakan batin. Saya bisa ikut merasakan luka dan amarah yang dipendam oleh masing-masing tokoh.

Saya melihat bahwa perempuan Bali ingin melepaskan diri dari adat-istiadat yang telah diberlakukan secara turun-temurun. Tapi, mereka juga tetap menjaga kemurnian seni budaya di tanah kelahiran mereka. Tak ingin dirusak oleh generasi yang konon berpendidikan tinggi. Mereka berusaha memberontak karena merasa berhak memilih jalan hidupnya sendiri, bukan hanya diatur oleh sistem. Tapi, pada akhirnya mereka pun tetap tunduk pada adat, menjalani tradisi yang ada. Mereka tetap tak bisa menampik kenyataan bahwa tak ada pilihan yang tak beresiko. Mematuhi ataupun melanggar adat, semuanya sama-sama harus dibayar mahal.

"Kau pernah bahagia? Kalau kau mendapatkan hadiah itu dari hidup, kau harus bersiap-siap, karena beberapa detik lagi penderitaan akan berdiri dengan akngkuhnya di hadapanmu.... Hidup memang harus disiasati, sebelum manusia hanya sekadar jadi pecundang." (hal. 84)

Selain tema dan konfliknya yang menarik, cara Oka Rusmini bercerita pun sangat asyik untuk dinikmati, jelas dan padat. Perpindahan tokoh pun berlangsung cepat dan melompat-lompat. Gaya bahasa yang digunakan sangat lugas dan tajam, tapi kadang pun terasa halus dan cenderung puitis. Meskipun 176 halaman masih terlalu tipis untuk menceritakan semua tentang Bali⧿karena saya merasa terdapat beberapa bagian yang diselesaikan dengan tergesa-gesa, novel ini benar-benar menambah wawasan. Saya rekomendasikan novel ini untuk kalian yang ingin mengenal kehidupan masyarakat Bali secara lebih dekat. Tapi, karena terdapat muatan dewasa, maka saya sarankan hanya untuk usia 18+.

“Kebahagiaan itu sulit digambarkan. Juga tidak bisa diucapkan. Kadang-kadang sesuatu yang tidak bernilai bisa membuat kita tentram, lalu beberapa detik kemudian terenggut lagi. Tiang tidak tahu bagaimana merasakan arti kebahagiaan itu sendiri. Terlalu mahal.”(hal. 170)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye