Review: Cinta Terhalang Perbedaan
Judul: 33 Senja di Halmahera
Penulis: Andaru Intan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Juni 2017
Tebal: 192 halaman
ISBN: 978-602-03-4264-1
Membahas
cinta memang tidak akan pernah ada habisnya, cinta selalu menjadi topik yang
menarik, karena manusia dilahirkan oleh cinta dan tumbuh diiringi rasa cinta.
Setiap manusia memiliki jalan cinta yang berbeda-beda. Dan tentu saja, tak ada
jalan yang bisa ditempuh tanpa ada sedikit pun hambatan. Begitu pula dengan
kisah cinta dalam novel ini.
Bercerita
tentang seorang tentara bernama Nathan yang baru saja menyelesaikan masa pendidikannya.
Karena terlalu bangga atas kesuksesannya, ia justru terlibat masalah dengan
anak orang terpandang. Akibatnya, ia harus rela dipindahtugaskan ke pelosok
Halmahera Selatan, tepatnya di Sofifi, Maluku Utara.
Nathan
dan tentara lainnya datang untuk menjaga keamanan proses pembangungan masjid
dan gereja setelah bentrokan antara kaum Muslim dan Nasrani. Di tengah
kerinduannya pada keluarga yang berada jauh di Sirimau, Nathan mengenal Puan,
gadis asli Sofifi.
Puan
adalah sarjana Bahasa Inggris yang memilih mengajar di daerah tempat
tinggalnya. Puan menjadi guru yang menyenangkan dan idola bagi murid-muridnya. Sejak
awal, Puan sudah mencuri perhatian Nathan. Namun, tak mudah bagi Nathan untuk
bisa mengambil hati Puan. Gadis itu jarang bicara dan selalu menjaga jarak
dengan laki-laki.
Bukan
hanya menyoal cinta, novel ini juga membahas tentang trauma. Puan memiliki
kenangan buruk yang menjadikan laut tampak mengerikan di matanya. Ia
bermukim di pesisir pantai, tapi duduk membelakangi laut, tak bisa berenang.
(hal. 78)
Masa
lalu yang kelam sering kali menyisakan tekanan yang mendalam. Untuk benar-benar
bangkit dari tekanan bukanlah perkara mudah. Nathan pernah merasakannya, dan ia
tak mau Puan terpuruk terlalu lama seperti dirinya. Selain tertarik pada
kepribadian Puan, usaha Nathan mendekati gadis itu juga untuk membantunya
melawan rasa takut terhadap laut.
Untuk menyembuhkan luka, adakalanya kita tidak hanya butuh
waktu−tapi juga butuh cinta dari seseorang yang memberikannya dengan ketulusan. (hal.186-187)
Setelah
beberapa hari berlalu, akhirnya usaha Nathan berbuah manis. Puan mau bicara
bahkan tersenyum kepada Nathan. Rasa cinta mulai tumbuh dan terus berkembang di
hati Puan. Ia menikmati setiap pertemuan dan kebersamaanya dengan Nathan,
terutama momen saat Nathan mengajari Puan berenang dan melihat keindahan bawah
laut.
Andaru
Intan memang dikenal sebagai penulis romance. Tapi, kali ini beliau
membalutnya dengan konflik yang sedikit pelik, bahkan terbilang sensitif,
mengingat kondisi negeri kita saat ini. Selayaknya cinta sejati, ia sering kali
dihadapkan dengan berbagai ujian.
Kebahagiaan
yang dirasakan oleh Puan dan Nathan hanya sementara. Papa Puan tak merestui
hubungan mereka, sebab keduanya menganut keyakinan yang berbeda. Puan adalah
seorang muslim, sedangkan Nathan seorang nasrani. Kedekatan mereka pun telah
menjadi buah bibir warga desa.
Satu-satunya jalan agar kita bisa bersama adalah aku ikut denganmu
atau kau ikut denganku. Kau tahu, aku tidak bisa meninggalkan jalanku. Dan aku
juga tidak akan pernah memaksamu meninggalkan jalanmu. (hal. 162).
Novel
ini membuat pembaca kembali belajar memahami makna cinta. Bukan hanya cinta
kepada manusia, tapi juga cinta kepada Tuhan. Mengingatkan kita bahwa
seharusnya cinta tidak saling memaksa. Untuk kisah cinta Puan dan Nathan, penulis
berusaha memberikan solusi yang cukup melegakan bagi keduanya. Tanpa memihak
kepada siapa pun hingga harus mengorbankan cinta mereka kepada Tuhan.
Sejak
awal kisah Puan dan Nathan diselimuti oleh kearifan lokal Halmahera; perilaku penduduknya,
budaya, makanan khas, keelokkan alamnya, dan konflik yang pernah bergejolak di
sana. Meski tidak disajikan dalam porsi yang melimpah, penulis mampu membuat
pembaca sedikit mengenal bumi Halmahera. Hal tersebut juga menjadikan cerita sedikit
lebih berwarna.
Hanya
saja, berbagai konflik yang telah dibangun dalam novel ini tidak digali secara
mendalam, berlalu begitu saja, sehingga emosi para tokohnya tidak sampai kepada
pembaca. Penyelesaian pun dilakukan secara terburu-buru. Selain itu, sepertinya
penulis masih larut dalam lokalitas Halmahera yang memang pernah beliau
saksikan secara langsung.
Andai
penulis mau sedikit bersabar mengeksekusi konflik; membuat jalan cerita yang
lebih berliku dan menciptakan karakter tokoh yang sedikit menyimpang,
barangkali kisah Nathan dan Puan bisa memberikan kesan yang lebih mendalam bagi
pembaca.
Meskipun
demikian, “33 Senja di Halmahera” tetap layak untuk dibaca. Bukan hanya
menyuguhkan kisah yang menarik, tapi juga menghadirkan nilai-nilai kebaikan
yang patut direnungkan.
Komentar
Posting Komentar