Review: No Place Like Home
Judul:
No Place Like Home
Penulis:
Alma Aridatha
Penerbit:
Penerbit Ikon
Cetakan:
Pertama, April 2017
Tebal:
290 halaman
ISBN:
978-602-74653-7-4
Setiap
anak pasti mendambakan keluarga yang harmonis. Ingin memiliki rumah yang
benar-benar bisa dijadikan tempat pulang, tempat yang bukan hanya dihuni oleh mereka
yang terikat darah dengannya, tapi juga orang-orang yang akan menyambut kehadirannya
dengan tangan terbuka dan mau menerima dengan tulus.
Novel
ini berkisah tentang Ganda, seorang anak yang tak bisa merasakan itu semua. Ganda
baru mengenal ayah biologisnya, Gio, ketika berusia sepuluh tahun. Selama ini,
sosok ayah yang sangat ia sayangi dan dijadikan panutan adalah Dhimas, ayah
tirinya. Karena itulah Ganda merasa tidak membutuhkan Gio. Hingga empat tahun
kemudian, tanpa alasan yang jelas, ia tiba-tiba berubah pikiran.
Tara,
ibu kandung Ganda, tepaksa merestui keinginan putranya untuk sekolah di Jakarta
dan tinggal bersama Gio. Di sana, Ganda harus beradaptasi dengan ibu tirinya,
Jess, dan dua adik tirinya. Meski Ganda senang tinggal bersama ayah kandungnya,
dan ibu tirinya selalu bersikap baik kepadanya, tapi ia tetap merasa asing di
rumah tersebut.
Bahkan
pada suatu hari, akhirnya Ganda tahu bahwa akibat kesalahan Gio dan Tara di
masa lalu, ternyata tidak semua anggota keluarga Jess bisa menerima keberadaan
Ganda. Di saat seperti itu, Ganda ingin sekali kembali ke pelukan ibu
kandungnya, namun di sisi lain, ia juga tak ingin bertemu dengan ayah tirinya.
Ganda seolah tak punya tempat untuk bersandar.
“Dia
sudah kenyang menerima sindiran tetangga. Tentang mamanya yang menikah
terburu-buru dan kemudian tiba-tiba bercerai setelah melahirkan. Dia sudah
sering menangkap tatapan tidak suka ibu-ibu saat ia bermain dengan anak mereka.
Seolah dia membawa wabah penyakit mematikan dan menular.” (hal. 116)
Kondisi
sosial yang dihadapi Ganda tentu turut mempengaruhi karakternya. Ia menjadi
anak yang lebih banyak diam, menutup diri, dan kerap bersikap dingin kepada
orang lain. Hingga saat masa orientasi siswa baru, Ganda berkenalan dengan
Nadya, perempuan yang banyak bicara dan selalu mengganggunya.
Selain
berbicara mengenai hubungan keluarga, novel ini juga membahas kehidupan para
remaja; tentang kisah percintaan dan kenakalan-kenakalan mereka. Meski tidak
dibahas secara mendalam, tetap mampu memberikan warna dalam cerita. Tidak
sampai di situ, penulis juga berbicara mengenai salah satu fase penting dalam
pertumbuhan manusia, yaitu masa pubertas.
Pada
masa tersebut, biasanya para remaja mulai mengenal dan tumbuh rasa ingin tahu terhadap
seks. Di sinilah peran orangtua sangat dibutuhkan untuk memberikan edukasi. “Kasih
aja penjelasan sebisanya kalau dia nanya. Kalau nggak, dia cari-cari di
internet, nemu yang lain, malah bahaya.” (hal. 90)
Sebagai
laki-laki yang pernah melakukan kesalahan fatal akibat perilaku seks yang
kebablasan, Gio pun tak ingin Ganda terjerumus seperti dirinya. Ia berusaha
menjabarkan mulai dari perasaan yang ditimbulkan oleh seks dan letak bahayanya.
No Place Like Home sedikit-banyak
menyajikan gambaran kehidupan anak yang tumbuh di tengah keluarga broken
home. Kisah Ganda ini kembali mengingatkan kita untuk dapat menjaga batasan
dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis agar tidak merugikan siapa pun,
terutama anak. Sering kali dampak dari kelalaian orangtua lebih banyak
dirasakan oleh anak mereka.
Begitu
pun ketika sepasang orangtua ingin memutuskan untuk berpisah, sebaiknya mereka
memikirkan nasib anak mereka kelak. Orangtua juga seharusnya bisa menempatkan
diri, berusaha memahami anak, karena sejatinya bukan anak yang harus sadar
diri, tetapi orangtua. (hal. 199)
Penulis
juga mengkritik masyarakat luas, bahwa tidak sepatutnya kita melabeli seseorang
dengan predikat negatif, melimpahkan hukuman atas kesalahan orangtua kepada
anak-anak mereka yang sebenarnya sama sekali tak berdosa. Hal tersebut
diungkapkan melalui ucapan Ganda berikut ini:
“Mereka
lupa sama kenyataan kalau aku nggak pernah minta keadaan kayak gini. Siapa sih
yang mau lahir jadi anak haram? Nggak ada, aku yakin. Tapi nggak ada yang
peduli. Yang mereka tahu, kelakuan mamaku hina, aku anak hasil zina. Dan aku
harus terima hidup dengan label itu selamanya.” (hal. 240)
Dengan
gaya bahasa yang ringan dan lugas, penulis mampu membuat pembaca hanyut, ikut
merasakan sakitnya luka fisik dan luka batin yang dialami oleh Ganda. Namun,
sesekali pembaca juga dihibur oleh dialog-dialog yang menggelitik dari para
tokohnya. Sejak awal, interaksi antartokoh pun dibangun dengan apik hingga
terasa sangat hidup.
Meski
terdapat beberapa kesalahan ketik, novel ini tetap patut dibaca, sebab
menyajikan kisah yang menarik dan mengandung berbagai pesan moral.
Komentar
Posting Komentar