Review: Avenoir Karya Urfa Qurrota 'Ainy


Judul: Avenoir
Penulis: Urfa Qurrota Ainy
Editor: Sabaruddin Firdaus
Tata letak: Urfa Qurrota Ainy
Ilustrasi sampul: Dani Nugraha
Penerbit: Halaman Indonesia
Tahun terbit: Cetakan pertama, Juli 2019
Tebal: 191 halaman
ISBN: 987-602-0848-50-1





Avenoir menggambarkan sebuah dilema klise yang muncul setiap kali kita berbicara tentang masa lalu, membuka album foto lama, membaca surat dari masa lampau, atau ketika secara tak sengaja memori lama kita terbangunkan oleh benda-benda kenangan. Dilema itu berbunyi: apakah kita mesti membiarkan masa lalu menuntun kita ataukah kita yang harus menggamit tangan dan menuntunnya?

Da adalah seorang psikolog dan guru BK yang alih profesi menjadi pendengar cerita. Ia menciptakan profesi tersebut karena berdasarkan pengamatannya, sebagian besar penduduk kota adalah orang-orang yang selalu menutup rapat dirinya. Mereka selalu berbohong dan besikap kuat di saat kondisi mereka jauh dari kata baik-baik saja.

Mereka terlalu menyayangi dirinya sehingga tak mengizinkan orang lain masuk ke dalam hidupnya, tapi sesungguhnya mereka juga kesepian dan tak sanggup lagi menyimpan cerita mereka sendirian. "Da meyakini bahwa mereka butuh orang yang mampu mendengarkan cerita mereka dengan seluruh inderanya, yang mampu menenangkan diri mereka." (hal. 8-9)

Da telah mengabadikan berbagai pengalaman hidup para pencerita, dan kini ia membagikannya kepada para pembaca. 

*****

Saya baru tahu bahwa ada istilah khusus untuk menyebut suatu perasaan yang tumbuh ketika kita mengingat masa lalu, yaitu avenoir.

Avenoir diceritakan melalui sudut pandang Da. Jujur saja, ketika Da mengungkapkan alasannya menjadi pendengar cerita, saya merasa tertohok. Tiba-tiba merasa bersalah pada diri sendiri. hmm..... Namun, Da mampu menenangkan dengan kalimat penutupnya itu. Kita memang butuh seseorang yang bukan hanya mau menyediakan telinganya, tapi juga hati dan pikiran yang lapang. Sosok pendengar yang baik tanpa menghakimi sedikitpun. Maka beruntunglah bagi mereka yang telah menemukannya.

Sebenarnya, hampir semua yang ditumpahkan para pencerita di sini dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kalau pun bukan kita yang mengalaminya, mungkin tetangga dan teman, atau bisa jadi kita pernah mendengarnya dari berita-berita di televisi.  

Salah satu cerita yang saya suka adalah "Havi", karena saya beberapa kali bersinggungan dengan tipe keluarga Havi. Jadi, pikiran saya seperti terwakilkan, sekaligus menjadi bahan perenungan bagi diri sendiri. Kita selama ini percaya bahwa tidak ada yang sempurna, tapi tanpa disadari kita terus mengejarnya. Bahkan membebani orang lain dengan menuntutnya menjadi sosok yang sempurna, hingga berujung pada menyepelekan masalah orang lain.

"Kita sering membuat orang lain malu untuk sekadar menjawab jujur pertanyaan apa kabar. Pun ketika akhirnya kita sudah tahu, tak jarang kita menganggap masalah itu sebagai aib yang tak patut dibicarakan." (hal. 145)

Ada juga cerita berjudul "Rangga". Barangkali, dari semua cerita di buku ini, tokoh-tokoh dalam "Rangga" adalah yang paling mampu menegur kita untuk mengikis prasangka buruk dengan bertanya, mencari tahu terlebih dahulu, bukan menghakimi.

"Indeed, everyone we meet is fighting a battle we know nothing about." (hal.65)

Selain itu, masih banyak cerita menarik lainnya yang meninggalkan berbagai kesan. Misal, cerita "Kinara" yang mengungkap salah satu fakta dari pemberitaan tentang pembunuhan, yang dilakukan seorang ibu pada anaknya dengan cara yang tidak manusiawi. Atau cerita "Karina" yang menanamkan pertanyaan di benak kita terkait kenangan masa lalu.

Bagi saya pribadi, membaca tiga cerita pertama itu membutuhkan kesabaran. Selain karena sebelumnya membaca karya Teh Urfa dalam bentuk nonfiksi, tentu perlu adaptasi dengan pola penceritaannya. Dan, poin penting pada setiap cerita memang disimpan di bagian akhir.

Saya suka dengan ide menjadikan Da sebagai pendengar cerita. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan kisah yang utuh dan ungkapan perasaan yang jujur dari para pencerita. Yang tak kalah penting, kita bisa mencuri ilmu dari Da dalam menghadapi beragam karakter dan menanggapi keluhan kliennya. Ya, sama dengan karya Teh Urfa sebelumnya, Avenoir ini masih kental dengan aspek psikologi.

Menariknya lagi, Teh Urfa juga secara bertahap menceritakan kisah hidup Da. Sejatinya seorang pendengar yang baik, yang tutur katanya begitu bijak dan menentramkan jiwa, bukanlah sosok yang tanpa masalah dan mampu mengatasi kemelut hidupnya sendiri. Bisa jadi cerita-cerita yang ia terima justru menambah beban. Saran-saran yang ia berikan sebenarnya ditujukan pada dirinya sendiri, sesuatu yang ingin ia lakukan tapi belum mampu.

Secara keseluruhan saya suka dengan karya fiksi pertama Teh Urfa ini. Sosok Da seolah mengatakan bahwa hidup yang tidak baik-baik saja itu baik-baik saja dan kita tak pernah sendirian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Moonlight's Lullaby Karya Khi-khi Kiara

Review: Tarian Bumi Karya Oka Rusmini

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye