Review: Padang Bulan Karya Andrea Hirata

Judul: Padang Bulan
Penulis: Andrea Hirata
Editor: Imam Risdiyanto
Sampul: The Lovers, karya Budi Gugi
Penata sampul: Kuswanto
Foto sampul luar: Dini Berry
Ilustrasi isi: Enjhel
Pemeriksa aksara: Titis & Pritameani
Penata letak: Iyan Wb
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: 2011 (cetakan kedelapan, 2016)
Tebal: 310 halaman
ISBN: 978-602-8811-30-9


Enong, seorang gadis cerdas berusia 14 tahun yang sangat menyukai bahasa Inggris dan bercita-cita menjadi guru bahasa Inggris. Enong berasal dari keluarga sederhana yang hidupnya bergantung hanya dari ayahnya yang bekerja sebagai pendulang timah. Karena itulah, Enong tidak pernah mengutarakan keinginannya untuk memiliki kamus bahasa Inggris.

Zamzami bangga akan cita-cita anaknya, Enong. Ia tahu anaknya ingin sekali punya kamus bahasa Inggris. Ia pun memfokuskan dirinya untuk bisa membeli kamus, hingga akhirnya ia punya cukup uang. Tanpa berpikir lama, Zamzami mengajak Sirun, temannya, ke Tanjong Pandan. Maka, dibelilah kamus itu, Kamus Satu Miliar Kata, sebagai hadiah untuk Enong, lengkap dengan dibungkus kertas kado serta ucapan darinya.

Kasih sayang seperti itu tentu saja tidak ia berikan kepada Enong saja, tapi juga kepada Syalimah, istrinya. Pada suatu hari, tiba-tiba Syalimah menerima paket berisi sepeda yang ia impikan sejak dulu. Ia terkejut, bahagia karena ternyata suaminya masih ingat dengan permintaanya dulu bahkan di saat ia sudah melupakannya. Dan kini Syalimah tahu arti sebuah kejutan, dan mengapa orang-orang menyukai kejutan.

Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat Syalimah tak sabar menunggu kepulangan suaminya ke rumah, justru saat itulah Sirun datang membawa kabar buruk untuknya dan keluarganya. Suaminya tertimbun timah dan tidak bisa ditolong. Sejak saat itu nasib Enong berubah. Ia harus berhenti sekolah. Sebagai anak sulung, ia harus mengambil alih peran ayahnya agar adik-adiknya tidak putus sekolah. Dan saat itu lahirlah seorang pendulang timah perempuan pertama di dunia.

Hmmm... dari sepenggal kisah keluarga Enong ini, kita memang harus menerima bahwa, ternyata kejutan bukan saja berupa kebahagiaan, tapi juga kesedihan.

Ikal, seorang sarjana yang setiap hari harus mendengar ocehan ibunya karena Ikal tak kunjung memiliki pekerjaan, dan memilih untuk tetap terjebak dalam cinta gilanya kepada A Ling, gadis keturunan Tionghoa yang ia cintai sejak SD. Karena urusan cinta pula, Ikal harus memusuhi ayahnya yang tidak menyutujui hubungannya dengan A Ling.

Detektif M. Nur, orang gila nomor 31, selalu terobsesi dengan rahasia, spionase, mengintai, menyamar, menyelinap, dan mengendap-endap. Suatu hari, melalui detektif M. Nur dan jaringan penggosip, Ikal mendapat kabar bahwa A Ling akan dilamar oleh seorang lelaki. Lelaki tampan dan bertubuh atletis yang bernama Zinar.

Karena cintànya yang begitu besar kepada A Ling, Ikal ingin tetap bersaing dengan Zinar demi mempertahankan cintanya. Tentu saja dengan bantuan Detektif M.Nur. Dengan ide dan tingkah konyolnya, ia melakukan segala cara untuk bisa mengalahkan Zinar. Mulai dari belajar catur, main tenis meja, sampai usaha meninggikan badan yang justru nyaris merenggut nyawanya. Hingga akhirnya Ikal pun menyerah dan berniat untuk berlayar ke Jakarta.

Setelah belasan tahun lamanya tidak membaca karya-karya Andrea Hirata, akhirnya saya bisa membaca lagi salah satu novel best seller-nya ini. Cerita dalam novel ini memang sangat menghibur, terutama kekonyolan Ikal dan Detektif M. Nur. Ternyata masih berkutat dengan Ikal. Tapi sayangnya, Padang Bulan tidak bisa memberikan kesan yang berarti bagi saya. Entahlah... mungkin karena kekecewaan saya terhadap kisah Enong yang hanya jadi tempelan saja. Novel ini lebih banyak menceritakan pergolakan batin Ikal serta usahanya untuk mendapatkan A Ling. Kisah Ikal memang menarik. Tapi saya rasa, kalau kisah Enong diceritakan lebih banyak, mungkin akan lebih memberikan nyawa pada novel ini. 

Kisah Enong dan keluarganya memberikan banyak inspirasi bagi pembaca. Sebuah keluarga sederhana yang penuh cinta dan kasih sayang. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka tetap bahagia dan bisa saling mengerti. Begitupun dengan Enong, walaupun keadaan memaksanya berhenti sekolah, tapi ia tidak pernah mengubur mimpinya. Ia masih terus belajar bahasa Inggris, dan kamus peninggalan ayahnya pun selalu ia bawa.

Yah, walaupun demikian, novel ini tetap bisa dinikmati. Apalagi di sini penulis menggambarkan beberapa kebiasaan dan sifat-sifat manusia secara unik. Seperti menggosip dan menertawakan orang. Dan tentu saja, novel ini menunjukan kepada kita betapa besarnya pengaruh cinta hingga mampu mengubah hidup seseorang. Novel ini memperlihatkan dua orang yang memperjuangkan mimpinya dengan cara mereka masing-masing. Intinya, terlepas dari segala kelurangannya, novel ini tetap menghibur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye