Review: Memories to Forget Karya Mahir Pradana


Judul : Memories to Forget
Penulis : Mahir Pradana
Editor : Ayuning
Penyelaras aksara : Anye
Penata letak : Gita Ramayudha
Desainer sampul : Juang & Agung Nugroho
Penerbit : GagasMedia
Terbit : 2016
Tebal : 214 halaman
ISBN ; 979-780-878-5




" ... Terkadang kita merasa memahami seperti apa kesedihan itu,
tapi ternyata kita tidak tahu apa-apa. Karena kesedihan punya ceritanya tersendiri." (hlm. 4)

Satria, pemuda tampan berusia dua puluh empat tahun yang tidak punya banyak teman. Topi kupluk rajutan berwarna biru gelap selalu menutupi kepalanya. Satria sangat membenci hujan. Hanya ada satu kenangan tentang hujan yang melekat di dalam ingatan Satria: melihat ibunya berlutut di depan rumah dengan jeritan yang menyayat hati, sebelum akhirnya terkapar ke tanah bersimbah darah. Tragedi tersebut terus menghantui Satria.

Setelah ibunya meninggal, karena sebuah alasan, Satria tinggal di Jakarta bersama pamannya yang akrab dipanggil Bung Maher. Selama empat tahun terakhir, dia membantu Bung Maher di usaha penerbitan kecilnya, Lentera Pustaka. Dalam hatinya, Satria menyimpan kemarahan. Dia merasa telah dibuang jauh-jauh oleh ayah dan kakaknya, Rafi, yang tinggal di Balikpapan. Bahkan, tak ada satu pun yang ia ingat tentang kenangan bersama ayahnya dan juga Rafi.


"Ah, wanita ... wanita. Semua kejadian penting di dunia ini pasti melibatkan wanita." (hlm. 81)

Lentera Pustaka mempertemukan Satria dengan Lara, selain cantik, ia juga pintar. Lara merupakan penerjemah freelance kepercayaan Bung Maher. Kedekatannya dengan Lara membuat hidup Satria berangsur membaik sekaligus memburuk. Hubungan keduanya seolah perlahan membawa Satria ke masa lalunya, apalagi ketika ia harus terlibat dengan masa lalu Lara.  


*********

Membaca sinopsisnya, pasti semua calon pembaca akan mengira bahwa novel ini mengisahkan perjalanan cinta sepasang kekasih yang harus berakhir dengan perpisahan, begitu pun dengan prolognya. Tapi, ternyata tebakan kita salah. Bukan cinta yang menjadi topik utamanya. Ada banyak hal lain yang menjadi penyebab sebuah perpisahan.

Novel ini bercerita tentang trauma masa lalu seorang remaja. Di awal, saya bisa ikut merasakan betapa hampanya hidup Satria. Dia seorang diri, dan seolah tak memiliki kenangan indah sedikit pun. Kemudian, berkali-kali dihantui oleh sosok yang mengerikan. Cara penulis mendeskripsikan hantu masa lalu Satria pun sempat beberapa kali membuat saya bergidik. Menurut saya, novel ini bisa dikategorikan thriller, tapi masih tergolong ringan.

Karakter Satria terasa cukup kuat. Trauma dan impian konyolnya untuk menjadi super hero itu mampu membuat jalan pikirannya menjadi sedemikian kacau. Apalagi, setelah ia mengenal Lara dan mantan kekasihnya. Hidup Satria yang awalnya terasa kosong, akhirnya justru diwarnai oleh berbagai konflik yang semakin merusak mentalnya. Hubungan Satria dan Lara juga tak lepas dari kenakalan mereka sebagai seorang remaja. Sepanjang membaca novel ini, saya hanya merasakan suasana kelam, meskipun sudah dibumbui oleh cinta antara Satria dan Lara..  

Jujur, sebenarnya setelah membaca novel ini perasaan saya berada di ambang kebingungan. Saya suka tema yang di angkat oleh penulis. Akan tetapi, tidak ada emosi yang saya rasakan dari kisah hidup Satria yang sebenarnya bisa dibilang cukup rumit. Kisah cinta Satria dan Lara pun sama sekali tidak membekas di hati saya. Mungkin karena mereka lebih sibuk dengan konflik mereka masing-masing.

Selain itu, novel ini terdiri dari dua bagian. Dan, saya merasakan ada penumpukkan di bagian kedua. Segala sesuatu yang sejak awal disimpan rapat-rapat tiba-tiba dibeberkan secara bertubi-tubi. Pembaca seperti tidak diberi waktu untuk mencernanya terlebih dahulu. Barangkali akan lebih efektif jika beberapa rahasia diungkapkan satu per satu di pertengahan cerita. Tapi, saya tetap menyukai twist-twist-nya. Menjelang di bagian kedua ini, kita akan mengetahui bahwa setiap tokoh memiliki dua sisi yang berbeda, memiliki masa lalu dan rahasia yang bisa menyelesaikan, juga merumitkan masalah.

Lepas dari semua kekurangan di atas, novel ini bisa jadi penawar atas kebosanan kita dengan maraknya novel-novel romance saat ini. Dan yang terpenting, entah sosok seperti Satria ini hanya fiktif belaka atau sungguhan ada di dunia nyata, tapi ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah hidupnya, terutama bagi para orangtua. Ternyata, tontonan-tontonan omong kosong yang tidak mendidik hingga tindak kekerasan yang disaksikan dan dialami langsung oleh seorang anak di bawah umur, itu bisa berdampak negatif bagi kondisi psikologisnya di masa mendatang, bahkan bisa merusak sistem kerja otak. 

"Akan selalu ada bagian dari masa lalu yang memaksa untuk dikenang. 
Sekalipun, kenangan itu lebih baik dilupakan."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye