Review: Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan


Judul : Cantik Itu Luka
Penulis : Eka Kurniawan
Desain sampul : Moelyono
Foto sampul : Shutterstock
Perwajahan isi : Sukoco
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan ketiga, Februari 2012
Tebal : 480 halaman
ISBN : 978-979-22-7880-4





"Seperti apa rasanya mati?" tanya Kyai Jahro.
"Sebenarnya menyenangkan. Itulah satu-satunya alasan kenapa orang mati tak ada yang kembali."
"Tapi kau bangkit kembali," kata sang Kyai
"Aku kembali untuk mengatakan itu." (hal. 23)

Cerita dibuka dengan kebangkitan Dewi Ayu dari kuburnya setelah 21 tahun lalu mati atas keinginannya sendiri. Semua orang histeris, kalang kabut melihat sosok tersebut, kecuali seorang gadis yang duduk di beranda rumah Dewi Ayu. Alangkah terkejut dan bahagianya Dewi Ayu saat mengetahui bahwa gadis itu adalah Si Cantik, anak bungsunya yang lahir 12 hari sebelum ia mati. Ternyata doanya dikabulkan: memiliki anak buruk rupa, dengan harapan tak akan menjadi pelacur seperti dirinya.

Dewi Ayu adalah seorang gadis keturunan Indonesia-Belanda yang tinggal di Halimunda, sebuah kampung di pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Saat itu adalah masa-masa Belanda kalah perang dan menyerahkan kekuasaan kepada Jepang. Dewi Ayu pun menjadi salah satu warga yang dievakuasi oleh tentara Jepang, dan ditahan di Bloodankamp selama berbulan-bulan. Suatu hari, para gadis di Bloodankamp kembali dievakuasi, lalu dibawa ke tempat yang lebih nyaman, dengan imbalan harus memberikan kenyamanan di atas ranjang bagi para tentara Jepang. Dewi Ayu selalu bersikap tenang dan menerima segala kenyataan pahit tersebut, karena baginya

"Menolak sesuatu yang tak bisa ditolak adalah hal yang lebih menyakitkan dari apa pun." (Hal. 87)

Setelah merdeka, Dewi Ayu tetap melanjutkan pekerjaan tersebut hingga ia menjadi pelacur yang paling diidolakan oleh para lelaki di Halimunda. Dewi Ayu pun akhirnya melahirkan tiga anak gadis yang mewarisi kecantikan ibunya meski tak jelas siapa bapaknya. Alamanda, anak sulung Dewi Ayu yang keras kepala. Ia selalu memanfaatkan kecantikannya untuk mempermainkan hati para lelaki. Namun, saat Alamanda telah menemukan pujaan hati, ia justru terperangkap dalam cinta segitiga yang rumit. Sementara itu, Adinda, anak ke dua Dewi Ayu, terlihat mulai mengerjar cinta salah seorang lelaki.

"Cinta itu seperti iblis, lebih sering menakutkan daripada membahagiakan.” (Hal. 210)

Dewi Ayu khawatir anak bungsunya, Maya Dewi, akan tertular perangai buruk kedua kakaknya yang binal tersebut saat nanti telah mengenal lelaki. Maka, di usianya yang baru 12 tahun, Maya Dewi harus menjalani pernikahan yang aneh dengan lelaki paling 'gila' di Halimunda. Kehidupan putri-putri Dewi Ayu ini diliputi oleh masa-masa pemberontakan antara satuan militer dan partai komunis. Tentu saja beberapa orang diantaranya sangat berpengaruh bagi keluarga Dewi Ayu. Seiring dengan banyaknya pertumpahan darah akibat pertempuran tersebut, peristiwa-peristiwa mistis pun mulai sering terjadi.

Selanjutnya, dari pernikahan ketiga putrinya tersebut, Dewi Ayu mendapatkan tiga orang cucu yang nasibnya ternyata tak lebih baik dari ibu dan neneknya. "Sebab cantik itu luka." (Hal. 480)


Buku ini saya temukan di salah satu Taman Baca di dekat rumah, dan tanpa pikir panjang saya langsung meminjamnya. Saya memang sudah lama tertarik untuk membaca buku ini. Saya juga sebelumnya pernah membaca karya Eka Kurniawan yang berjudul Lelaki Harimau. Meskipun saya menyukai gaya bercerita Eka di buku tersebut, tapi sebagian review di goodreads dan beberapa book blogger mengenai Cantik Itu Luka membuat saya berkali-kali urung untuk membelinya. Maka, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan saat bisa melahap tuntas buku ini sebelum memutuskan untuk memilikinya.

Jika membaca sinopsisnya di sampul belakang, mungkin sudah tergambar bahwa salah satu tema yang diangkat dalam novel ini adalah feminisme. Awalnya saya kira novel ini bercerita tentang para perempuan cantik yang tubuhnya selalu ditakar oleh jutaan pasang mata lelaki, dan mendapat perlakuan kurang baik dari sesama perempuan. Namun, ternyata novel ini menceritakan para perempuan cantik yang bernasib kurang baik akibat sebuah dendam di masa lalu.

Dalam novel ini, penulis memang banyak menampilkan adegan dewasa dengan bahasa yang frontal, tapi itu hanya sepintas sambil lalu. Saya justru ingin tahu, apakah perilaku seksual nenek moyang kita di zaman dahulu memang seperti itu. Hal lain yang menjadi sorotan penulis adalah aktivitas politik yang sempat menggolakkan negeri ini. Itu terlihat dari tiga tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan keluarga Dewi Ayu: Sang Sodancho, panglima gerilya; Maman Gendeng, preman yang paling disegani di Halimunda; dan Kamerad Kliwon, aktivis partai komunis yang dikenal akan kecerdasannya dalam segala bidang.

Melalui tulisannya, Eka mengajak pembaca untuk masuk ke sebuah dunia yang segalanya ada. Memutar kembali peristiwa di masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Di sana kita bisa menemukan sejarah, cinta, psikologi, peperangan, filsafat, mistik, legenda, fantasi dan humor. Selain itu, kisah keluarga Dewi Ayu ini pun didukung oleh banyak tokoh lainnya. Satu hal yang saya suka dari buku ini adalah, penulis selalu menciptakan karakter yang kuat untuk masing-masing tokohnya, sehingga semuanya terasa hidup dan membekas di pikiran pembaca. Bukan hanya sebagai pelengkap yang datang dan berlalu begitu saja. Tapi, tentu saja tak membuat kita lupa pada tokoh utamanya. Buku ini padat sekali dengan berbagai macam konfik yang menarik untuk diikuti. Karena itulah novel setebal 480 halaman ini tak memberi kita kesempatan untuk merasa bosan.

Sejak awal, kisah Dewi Ayu diceritakan dengan alur maju-mundur, serta gaya bahasa yang sepertinya sudah menjadi ciri khas Eka: mengalir, lugas, spontan, dan cenderung satire. Sebenarnya, saat membaca buku ini saya berharap bisa menemukan metafora, penjabaran panjang, serta perpindahan tokoh dan peristiwa yang sangat halus seperti yang saya temukan dalam novel Lelaki Harimau, tapi ternyata tidak.

Secara keseluruhan, saya akui bahwa dalam novel ini, Eka telah menunjukkan kualitasnya sebagai pendongeng yang andal. Beliau mengemas salah satu sejarah negeri ini dengan hal-hal yang lebih dekat dengan kehidupan kita. Akan tetapi, saya juga sependapat dengan Nirwan Ahmad Arsuka. "Lelaki Harimau lebih licin daripada Cantik Itu Luka."

"... kekasih paling setia adalah kotak rahasia yang paling aman." (Hal. 288)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye