Review: Purple Eyes Karya Prisca Primasari


Judul: Purple Eyes
Penulis: Prisca Primasari
Proofreader: Sepila
Design cover: Chyntia Yanetha
Penerbit: Inari
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Tebal: 142 halaman
ISBN: 978-602-74322-0-8






"Dia bangga mengakui bahwa dia gadis Inggris berumur 24 tahun, dengan wajah aristokratis, mata cokelat indah, dan rambut cokelat menyentuh leher.
Yang meninggal tahun 1895."

Begitulah penulis membuka kisahnya.

Adalah Lyre, asisten Hades, sang dewa kematian. Belakangan, banyak orang menghadap Hades karena dibunuh dengan cara yang sama: lever mereka diambil. Karena itu, Hades diperintahkan untuk pergi ke bumi, mengatasi pembunuh berantai tersebut. Hades pun meminta Lyre untuk ikut bersamanya. Mereka menuju ke Norwegia; menemui salah satu keluarga korban pembunuhan. Hades dan Lyre menyamar sebagai Halstein dan Solveig, serta berpakaian layaknya manusia.


Target mereka adalah Ivarr Amundsen, pria pucat rupawan, bermata ungu dengan tatapan kosong. Sudah sebulan, Nikolai, adik sekaligus keluarga satu-satunya, meninggal. Tapi, Ivarr belum juga menangis. Selanjutnya, tanpa memberi tahu alasannya, Halstein menyuruh Solveig untuk menemui Ivarr seorang diri, dan mengajaknya pergi ke beberapa tempat.

"Kesedihannya sudah melampaui air mata. Yang kau lihat itu hanyalah puncak gunung es. Di hati Ivarr, ada emosi yang luar biasa besar. Tugasmu adalah memancing emosi itu keluar." (hal. 40)

Solveig pun terpaksa menghabiskan waktunya bersama pria tak berekspresi itu, hingga beberapa  hari kemudian, Ivarr merasa kehadiran Solveig telah menumbuhkan kembali perasaan yang telah lama hilang dari jiwanya: kerinduan, kehangatan, kepedihan. Begitu pun dengan Solveig.

"Dengan ngeri, Solveig menyadari bahwa inilah rencana Halstein sejak awal.... 
Inilah yang diinginkan dewa kematian itu." (hal. 112)

********

Ini kali ke tiga saya membaca karya Mbak Prisca, dan saya kembali merasakan aura kelam. Saya suka cara Mbak Prisca memulai kisahnya. Langsung memberikan suasana magis dengan tokoh yang telah mati, dewa kematian dan kasus pembunuhan berantai. Mbak Prisca memang selalu berhasil memikat pembacanya dengan menciptakan kisah-kisah yang berbeda dari yang lain. Tapi, saya tidak mengira kalau novel ini akan lebih banyak bercerita tentang cinta.

Menurut saya, dalam novel tipis ini, penulis telah berhasil menggambarkan segala sesuatunya secara detail, termasuk kondisi tempat dan waktu. Saya bisa membayangkan hawa dingin yang dirasakan penduduk Norwegia. Selain perbedaan antara Solveig yang telah mati dan Ivarr yang masih hidup, digambarkan juga perbedaan kehidupan mereka yang terpaut 120 tahun. Saat Solveig tak sedikit pun merasa kedinginan di tengah tumpukan salju. Lalu, ia lebih suka menggunakan surat sebagai media kumunikasi, tidak mengenal ponsel, dan juga tidak tahu menahu tentang Harry Potter. Mungkin itu terlihat remeh, tapi saat diselipkan ke dalam cerita, bisa memperkuat imajinasi pembaca.

Saya suka perpaduan antara karakter Solveig hangat dan yang apa adanya dengan Ivarr yang terkesan kaku dan sendu. Saya juga suka proses tumbuhnya perasaan mereka yang awalnya saling berseberangan. Sederhana tapi manis. Tapi, karakter yang paling saya suka di sini adalah Hades. Sebenarnya, sayang sekali dia hanya mendapat porsi yang sedikit, tapi itu sudah cukup menarik perhatian saya. Selalu bersikap dingin, misterius, dan yang paling melekat dalam dirinya tentu saja ketampanan yang diselimuti keangkuhan.

Sebenarnya, sejak di pertengahan cerita saya sudah bisa menebak akhir kisah Solveig dan Ivarr. Dan, ada satu hal yang bagi saya masih terasa kurang. Saya berharap ada proses penanganan pembunuh berantai yang lebih panjang, lebih rumit, dan lebih menegangkan. Saya rasa Hades pun tidak perlu terlalu bertele-tele menjalankan rencananya. Andai kasus pembunuh tersebut lebih digali lagi, mungkin bisa membuat novel ini menjadi lebih bernyawa. Meskipun demikian, tulisan Mbak Prisca tak pernah mengecewakan, selalu menarik untuk diikuti, dan saya akan selalu menanti karya-karya beliau yang berikutnya.

Novel ini sangat direkomendasikan bagi kalian yang lebih menyukai kisah-kisah romance yang tidak terlalu panjang. Dari kisah romance yang berbalut fantasi ini, kita bisa merasakan kehangatan dalam udara dingin, kita bisa tersenyum dalam kepedihan, dan kita bisa melihat cahaya dalam kegelapan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye