Review: Di Tanah Lada Karya Ziggy Z


Judul: Di Tanah Lada
Penulis: Ziggy Z
Editor: Mirna Yulistiani
Copy editor: Rabiatul Adawiyah
Ilustrasi sampul & isi: Ziggy Z
Desain sampul: Suprianto
Setter: Fitri Yuniar
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Agustus 2015
Tebal: 240 halaman
ISBN: 978-602-03-1896-7



"Menurutku, Papa mirip hantu. Papa mirip hantu karena aku takut hantu, dan aku tahu Mama takut hantu. Dan aku takut Papa. Dan aku tahu kalau Mama juga takut Papa." (hal. 2)

Salva, biasa dipanggil Ava, adalah seorang anak perempuan berusia 6 tahun. Dulu, ayahnya memberi nama Saliva yang artinya ludah, karena ia adalah anak yang tak diharapkan oleh ayahnya. Ayahnya kerap berlaku kasar kepada Ava dan mamanya. Ava selalu berusaha bertutur dengan baik, sesuai tata bahasa Indonesia, seperti yang diajarkan oleh Kakek Kia, kakeknya Ava. Dia juga selalu mencari kosakata baru yang tak ia mengerti di kamus yang dihadiahkan oleh Kakek Kia pada ulang tahun Ava yang ke tiga. 

"Aku butuh kamus setiap saat. Aku membawanya tidur, siapa tahu ada kata yang tidak kukenal ketika aku bermimpi." (hal. 46)  

Cerita dimulai setelah Kakek Kia meninggal. Papanya--yang ternyata lebih menakutkan daripada hantu--membawa Ava dan mamanya pindah ke Rusun Nero. Di sana, Ava bertemu dengan P (ya, hanya huruf P). Tapi, dia juga tidak mau dipanggil P, Si Anak Pengamen yang Bukan Pengamen. P adalah anak laki-laki berusia 10 tahun. nasibnya sama seperti Ava, dia punya papa yang sering berlaku kasar. Bahkan, kondisi P jauh lebih parah daripada Ava. Akhirnya, Ava dan P menyimpulkan bahwa semua papa itu jahat.

Beruntungnya, mereka masih memiliki orang-orang baik yang peduli pada mereka. Di rusun Nero, ada Kak Suri yang biasa mengajarkan bahasa Inggris kepada P, dan Kak Alri yang sering membayarkan makan untuk P. Namun, selama ini takdir telah benar-benar memaksa Ava dan P tumbuh menjadi anak-anak yang skeptis. Mereka terlalu cepat memikirkan masa depan. Mereka tidak percaya lagi pada nasib baik. Karena itulah, mereka memutuskan untuk mencari kehidupan sendiri, bertualang menuju Tanah Lada, tanah yang menumbuhkan kebahagiaan.

*******

Ini adalah kali pertama saya membaca buah karya seorang Ziggy. Satu hal yang seketika melintas di pikiran saya setelah membaca novel ini, bagaimana Ziggy bisa masuk ke dalam pikiran seorang anak berusia 6 tahun? Menggarap novel ini tentu bukanlah hal mudah, karena Ziggy sendiri bukan anak kecil. Bahkan, anak kecil dalam novel ini digambarkan memiliki karakter dan pemikiran yang berbeda dari anak-anak seusianya.

Novel ini diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, Ava. Ketika membaca bab pertama, saya tidak berhenti tertawa karena pola pikir Ava yang lugu sekaligus cerdas. Dia selalu mengaitkan segala sifat dan peristiwa yang dia lihat. Seperti yang sudah saya kutip di atas, dia mengganggap papanya seperti hantu. Dia juga sering menyamakan seseorang dengan seekor binatang tertentu hanya karena memiliki kesamaan karakter. Ditambah lagi dengan cara dia memahami setiap kalimat yang belum dia mengerti dengan selalu mengacu pada kamus.

Begitu pun dengan P yang tak kalah lugunya. Dia mengganggap bahwa Ava adalah anak yang aneh karena selalu menggunakan bahasa yang baku dan sering mengomentari bahasa yang digunakan oleh P. Sementara itu, Ava menganggap bahwa P bukan anak yang baik, karena P tidak pernah menggunakan bahasa yang baik dan benar saat berbicara.

Namun, itu tidak berlangsung lama. Pada bab berikutnya, kekerasan rumah tangga mulai mewarnai novel ini. Kesedihan pun berkali-kali menghampiri Ava dan teman barunya, P. Sebenarnya, tidak banyak adegan kekerasan yang disuguhkan oleh penulis. Tapi, cara Ava dan P menanggapi setiap kekerasan dan kata-kata kasar yang mereka terima itu bisa membuat hati siapapun akan merasa teiris. Mudah sekali bagi mereka mengambil keputusan-keputusan yang tidak masuk akal. Keputusan yang awalnya diambil untuk menghindari segala bentuk kejahatan, tapi justru bisa membahayakan diri mereka sendiri.

Muram, itulah yang saya rasakan selama membaca novel ini. Ziggy menyoroti sebuah lingkungan masyarakat yang mungkin masih ada sampai saat ini. Hidup di perkampungan yang kumuh, dan ekonomi menjadi masalah utama bagi mereka. Tapi, mereka menghamburkan pun uang yang ada untuk berjudi, KDRT pun kerap mehiasi kehidupan mereka, hingga akhirnya merusak mental anak-anak di lingkungan tersebut.

Sejak pertengehan cerita, saya sudah tidak lagi memedulikan semua penjabaran Ava yang ia kutip dari kamus. Saya hanya gelisah, berpikir apa yang akan terjadi pada Ava dan P selanjutnya, dan selanjutnya. Karena menurut saya, karakter Ava yang lugu dan P yang gegabah sangatlah kuat. Tapi, karena kuatnya karakter mereka tersebut membuat saya bisa menebak beberapa twist yang diciptakan oleh penulis. Satu hal yang benar-benar di luar dugaan saya, saya tidak menyangka Ziggy akan menciptakan akhir seperti itu. Entah harus disebut akhir yang menyedihkan atau membahagiakan. Itu adalah akhir yang manis sekaligus tragis.

Intinya,

       "Kalau dalam hidup kalian ada orang jahatnya, hidup kalian nggak akan normal." (hal. 101)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana