Review: Satin Merah Karya Brahmanto Anindito


Judul: Satin Merah
Penulis: Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penyunting: Widyawati Oktavia
Proofreader: Christian Simamora & Gita Romadhona
Disain sampul: Dwi Anisa Anindhika
Penata letak: Dian Novitasari
Penerbit: Gagasmedia
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: 313 halaman
ISBN: 978-979-780-443-5




Satu-satunya cara untuk membuat Nadya merasa dirinya berharga dan 'terlihat' adalah dengan selalu berprestasi. Tapi seiring waktu berlalu, dia mendapati sinarnya kian memudar. Nadya tak ingin terlupakan. dia merasa harus membuat gebrakan prestasi untuk membuat pujian dan tatapan kagum kembali tertuju padanya.

Lomba bergengsi se-Bandung Raya inilah kartu As-nya.
Awalnya, ambisi itu terasa tak berbahaya. dia melebur di dalam diri Nadya--membuatnya kuat, memberinya semangat. Nadya tidak menyadari perasaan itu menekan dirinya begitu rupa, membuatnya menjadi seseorang yang benar-benar berbeda.


*******

"Setiap kebohongan selalu ada motivasinya." (hal. 133)

Cerita dibuka dengan ditemukannya mayat dua orang sastrawan Sunda yang jarak kematiannya diduga tak terpaut jauh. Satu ditemukan di pekarangan rumah, dan satu lagi di lantai keramik bak mandi. Kabar tersebut pun sampai ke telinga Lina Inawati, wanita berusia 42 tahun. Dosen Sastra Sunda Universitas Padjadjaran yang belakangan tengah mengkhawatirkan kemerosotan Sastra Sunda.

Di SMA Priangan 2 Bandung, ada seorang siswi berprestasi yang bernama Nadya. Mulanya, orangtua, guru-guru dan teman-teman Nadya selalu memberi perhatian kepadanya. Namun, semua itu berubah saat adiknya, Alfi, menunjukkan prestasi yang terus bersinar, sedangkan Nadya hanya mentok jadi pelanggan juara kelas. Juara kandang. Nadya tak ingin dirinya semakin tenggelam. Satu-satunya cara untuk membuat dirinya kembali bersinar adalah dengan terpilih sebagai Siswa Teladan se-Bandung Raya.

Salah satu tahap dalam pemilihan siswa teladan adalah membuat karya tulis. Nadya pun sengaja memilih tema yang tak pasaran, bahkan mungkin tak pernah terpikirkan oleh para pesaingnya: Sastra Sunda. Nadya pun berusaha menemui beberapa sastrawan Sunda untuk diwawancarai, hingga akhirnya ia tertarik untuk mempelajari Sastra Sunda serta tehnik-tehnik kepenulisan. Menurut Nadya, itu bisa membuat semua orang mengakui kegeniusannya karena telah ikut mengembangkan Sastra Sunda. 

Sebenarnya, Nadya memang anak yang genius. Dia memiliki energi putih. Setelah Nadya berbincang langsung dengan seorang penulis, maka dia bisa langsung menyerap seluruh ilmu yang dibagikan oleh lawan bicaranya. Namun, selama masa belajar tersebut, Nadya tak pernah bisa menerima kritik atas segala "kesalahan" yang ia buat. Ambisinya yang semakin tinggi itu telah membuat hati nuraninya kian beku. Di usianya yang masih remaja, ia sudah mahir melakukan tindakan kriminal. Sikap keras kepala Nadya justru membuat jagat kesuastraan Sunda bersedih, hingga akhirnya ia mengenal Lina Inawati, dan terbentuklah "Satin Merah".

"Percayalah, alam semesta ini takkan kehabisan daya cinta. Karena, Tuhan pun menciptakan kita dengan bahan baku cinta." (hal. 157) 

*******

Ya, saya akan mengulas karya Mas Brahmanto lagi, dan kali ini berduet dengan Rie Yanti. Saya memang telat mengenal novel-novel beliau. Tapi, andai saya mengetahui novel ini sejak pertama kali terbit, mungkin saya pun belum tertarik untuk membacanya, mengingat tema yang beliau angkat. Entah mengapa belakangan ini saya justru selalu terpikat pada novel dengan tema dan latar seperti yang Mas Brahmanto ambil.

Penulis berhasil memulai cerita dalam novel ini dengan menarik. Dua mayat yang diduga merupakan korban pembunuhan itu langsung memancing perhatian pembaca, dan cerita pun berputar ke belakang, memperkenalkan pembaca pada sosok Nadya. Setengah pertama novel ini habis untuk menceritakan proses belajar Nadya. Menurut saya, ini membuat cerita terasa berjalan lambat. Namun, pada bagian tersebut banyak sekali ilmu yang bisa diambil, terutama tentang tehnik kepenulisan dan dunia penerbitan. Saya seperti sedang membaca buku berisi tips-tips menulis, tapi dalam bentuk novel.

Karakter Nadya selaku tokoh utama terasa sangat kuat. Kondisi psikologis Nadya sangat cocok untuk cerita bergenre thriller; ambisius, tak sabaran, keras hati, tega menyakiti orang lain, dan tak pernah merasa bersalah. Saya sempat merinding saat membaca puisi berbahasa Sunda karangan Nadya. Sebenarnya, jika membayangkan sosok Nadya ini, saya merasa antara kasihan, benci, sekaligus takut. Manusia memang perlu ambisi agar termotivasi. Tapi, ketika ambisi itu terlalu besar dan tak terkendali, ia justru bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Sementara itu, dalam kasus Nadya ini, secara tidak langsung penulis juga menyoroti salah satu perilaku para orangtua yang tanpa mereka sadari bisa merusak mental dan psikologis anak-anak mereka: membanding-bandingkan prestasi setiap anak-anaknya, hingga memberikan kasih sayang yang berbeda. Bagaimanapun kondisi seseorang itu sangat dipengaruhi oleh orang-orang terdekatnya, terutama keluarga.

Selain Nadya, karakter para tokoh pendukungnya pun tak kalah kuat, terutama para sastrawan yang sempat menjadi mentor Nadya. Yahya S dengan sikap dinginya, Didi SP yang bersahabat, Nining yang penuh cinta, dan Lina yang cerdik. Dan, mereka adalah orang yang cerdas dan berwawasan luas. Saya juga ingin seperti Nadya, bisa mencuri ilmu mereka semua. Selain itu, ada juga Karta dan pembantu di rumah Nadya yang humoris. 

Menurut saya pribadi, unsur thriller di sini terasa tanggung. Mungkin ini dikarenakan sejak awal saya mengharapkan adanya adegan-adegan yang mencekam. Tapi, sayangnya beberapa bagian yang berpotensi ke arah tersebut justru dimentahkan begitu saja. Misal, singkatnya detik-detik pembunuhan yang terakhir, padahal calon korban punya jiwa intelejen yang tinggi, dan si pembunuh sendiri bisa melakukan apa saja saat posisinya terjepit. Saya pikir kalau prosesnya dilanjutkan akan menarik dan terasa lebih menegangkan. Proses pembunuhan dua korban sebelumnya pun tidak dijelaskan. Saya juga tidak merasakan adanya unsur misteri dalam novel ini. Sejak awal, bahkan di blurb-nya, penulis sudah memperkenalkan siapa pelaku pembunuhan berantai tersebut. Tokoh baru yang menyamar di sosial media pun bisa dengan mudah ditebak identitas aslinya.

Meskipun tidak benar-benar sesuai dengan harapan saya, tapi saya tidak merasa bosan mengikuti jalan ceritanya sampai akhir. Saya juga tetap tidak bisa menganggap remeh tulisan Mas Brahmanto ini. Sejak membaca "Rahasia Sunyi", saya melihat sepertinya Mas Brahmanto memang pandai mengantisipasi kebosanan pada pembaca. Setiap kali saya hampir menguap, selalu ada kalimat yang kembali membelalakkan mata saya, seperti "Nasi Pintar" dan "Nasi Goblok'.

Secara keseluruhan, isi novel ini sesuai dengan kondisi saat novel ini diterbitkan. Masa saat anak remaja gemar sekali memanfaatkan facebook untuk berbagai keperluan. Penulis menggambarkan hal tersebut lengkap beserta ke-alay-annya. Penggunaan password "d14n4" itu sedikit tapi menggelitik. Karakteristik anak remaja pun tergambar jelas; tak pernah mau mengalah dan ingin selalu terlihat menonjol. Selain itu, karena saya sendiri pernah kuliah di UNPAD, jadi mudah saja memahami kondisi Bu Lina. Saya bisa membayangkan suasana perpustakaan tempat Bu Lina biasa menghabiskan waktu. Dan, saat itu memang Sastra Sunda merupakan jurusan yang paling sedikit peminatnya.

Novel ini akan sangat cocok untuk kalian yang ingin belajar menulis dan berniat untuk menerbitkan buku secara indie, karena dalam buku dijelaskan beberapa hal yang perlu disiapkan. Atau mungkin ingin tahu sedikit tentang Sastra Sunda, katrena di sini sempat membahas sejarah Sastra Sunda. Buku ini juga cocok untuk kalian yang menginginkan sedikit ketegangan, tapi kurang menyukai adegan pembunuhan yang berdarah-darah.

Jika menilik pada atmosfer yang saya rasakan, saya menyukai  novel ini karena karakter tokohnya yang lebih bervariasi. Sedih, marah, takut, bahagia, semua bisa saya rasakan. Tapi, untuk perkembangan tokoh dan plot twist-nya, saya lebih suka "Rahasia Sunyi", lebih kompleks.      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye