Review: Tiga Sandera Terakhir Karya Brahmanto Anindito


Judul: Tiga Sandera Terakhir
Penulis: Brahmanto Anindito
Penyunting: Hermawan Aksan, Miranda Harlan
Penata aksara: Aksin Makruf
Desainer sampul: Oesman
Penerbit: Noura Books
Tahun terbit: Mei 2015
Tebal: 309 halaman
ISBN: 978-602-0989-47-1




Tiba-tiba tersiar kabar bahwa telah terjadi penyanderaan brutal di Papua. Korbannya adalah dua warga Indonesia, dua turis asal Prancis, dan satu turis asal Australia. Semua pihak langsung menuding OPM (Organisasi Papua Merdeka) sebagai pelakunya. Namun, mereka tidak mau bertanggung jawab. OPM menegaskan bahwa tidak pernah lagi menggunakan cara kekerasan, dan juga mengutuk adanya kasus tersebut.

Atas perintah TNI, Komandan Gultor Kopassus, Kolonel Inf. Larung Nusa, segera membawa pasukan terbaiknya dari Satuan 81/Penanggulangan Teror (Sat-81/Gultor) ke Jayapura. Nusa sendiri adalah seorang perwira yang dipandang sebelah mata. Banyak orang yang menganggap, bahwa pangkat yang ia sandang pada usia ke 38 itu adalah berkat statusnya sebagai menantu menteri pertahanan RI. Kasus penyanderaan ini adalah kesempatan emas bagi Nusa untuk menunjukkan kemampuannya sebagai prajurit profesional.

Namun, ini kasus yang cukup rumit. Para penyandera tidak akan segan-segan membunuh sanderanya jika TNI dan Polri melakukan serangan. Selama prosesnya pun, Kopassus banyak mengalami kendala. Selain kurang menguasai medan di tengah hutan yang dipenuhi bukit dan tebing, skala pada peta yang mereka miliki pun kurang memadai untuk mendeteksi lokasi para sandera. Konflik pun semakin panas ketika operasi militer dilaksanakan, dan korban mulai berjatuhan.

*********

Saya sependapat dengan endorser di sampul depan novel ini. penulis memang sangat berani mengambil tema militer, tema yang masih jarang disentuh oleh novelis Indonesia. Konflik yang diangkat pun terbilang sensitif; pernah terjadi di dunia nyata, bahkan cukup memanas. Sebagaimana yang diungkapkan penulis dalam pengantarnya, novel ini bertujuan untuk menyegarkan ingatan kita pada kasus penyanderaan yang terjadi di Mapnduma pada tahun 1996.

“Mereka ingin Indonesia mengakui kemerdekaan Papua Barat. Itu satu-satunya jalan untuk membebaskan sandera hidup-hidup. Jakarta takkan mau meluluskan permintaan itu. NKRI harga mati di sini, merdeka harga mati di sana. Ah ....!” (hal. 83)

Cerita lebih fokus kepada aksi penyelamatan yang dilakukan oleh Larung Nusa dan pasukannya. Tapi, pembaca harus sedikit bersabar pada sepertiga pertama. Penulis lebih dulu menyampaikan latar belakang konflik di Papua; tentang asal-usul nama Irian Jaya, lalu berubah menjadi Papua; tentang kondisi Papua ketika berada di tangan Belanda, lalu bergabung dengan Indonesia, hingga akhinya terbentuklah OPM. Sebenarnya, bagian ini lumayan membosankan. Tapi, minimal kita bisa tahu mengapa TNI dan OPM tidak pernah sejalan. Saya sendiri menganggap keputusan TNI maupun OPM sama-sama wajar, meskipun kekerasan bukanlah cara yang tepat.

Bukan hanya sejarah, lokalitas Papua juga terasa kental meskipun masih ada deskripsi yang kurang detail. Pembaca seperti dibawa masuk ke sana; mengenal rumah adat Papua; lalu hutannya, sampai pulau-pulau terpencil di dalamnya. Sempat disinggung juga beberapa tradisinya, yaitu tusuk hidung dan mumifikasi (jenazah manusia yang dijadikan mumi) yang jika dibayangkan sangatlah mengerikan.

Beberapa tokohnya pun berbicara menggunakan bahasa Papua. Meskipun tidak dicantumkan terjemahan, kita masih bisa meraba-raba artinya. Karena novel ini juga, saya jadi tertarik untuk mencari tahu tentang salah satu lagu daerah Papua, yang saya yakin semua orang pernah mendengarnya, tapi mungkin tidak banyak yang tahu maknanya, karena bertolak belakang dengan irama lagunya.

Namun, ada satu hal yang kurang mengenai Papua, yaitu kekayaan alamnya. Di sini, tokohnya berulang kali mengungkapkan bahwa Papua sudah memiliki segalanya. Tapi, penulis tidak memberikan gambaran yang jelas tentang apa saja dan seberapa banyak kekayaan yang ada di Papua, yang lebih banyak dibawa ke Pulau Jawa, dan juga digerus oleh negara asing, dan berapa persen yang benar-benar bisa dinikmati oleh penduduk aslinya.

"Semakin pemberani seseorang, semakin ceroboh dia." (hal. 138)

Selain Papua, sesuai temanya, novel ini memperkenalkan pembaca kepada dunia militer. Saya sempat bingung dengan berbagai kesatuan yang ada dalam TNI beserta pangkat-pangkatnya, ditambah lagi ada istilah-istilah yang tidak saya kenal. Tapi untungnya, penulis menyajikan kegiatan para anggota militer dengan menarik. Kita bisa mengetahui bagaimana cara mereka menyusun strategi, cara berlatih di lapangan, kode di medan perang, dan cara mereka menggunakan sandi-sandi. Di sinilah, pada sepertiga kedua, cerita mulai memikat, terutama ketika TNI dan OPM saling menyerang.

Novel ini juga sedikit mengubah pandangan saya yang selama ini menganggap bahwa anggota militer itu kaku dan selalu serius. Faktanya, mereka juga tetap manusia biasa yang bisa tertawa. Di sini digambarkan kalau mereka sesekali bergurau di tengah rapat dan saat latihan. Apalagi Tim Hantu, mereka bahkan bisa bergurau di tengah perang. Jadi, ketika suasana semakin tegang, tingkah tokohnya juga semakin lucu.

Dan tentu saja, novel ini juga menyuguhkan aktivitas yang sangat identik dengan militer, yaitu aksi tembak-tembakan. Semakin ke belakang, adegan baku tembak dan baku hantam yang digambarkan semakin detail. Apalagi, lawan yang dihadapi oleh Kopassus itu sangat sulit dikalahkan. Membuat jalan cerita menjadi semakin mencekam sekaligus semakin menarik, dan saya semakin sulit untuk melepas buku ini sebelum tamat.

Keseruan dan suasana mencekam memang baru benar-benar terasa pada sepertiga terakhir. Di sini bahkan penulis berhasil memberikan daya kejut saat pembaca mulai lengah. Setelah beberapa waktu dibuat tertawa, lalu penulis menghadirkan adegan yang membuat pembaca menjadi panas-dingin, yaitu saat kedok salah satu personil Tim Hantu terbongkar, dan kehadiran polisi di tengah perjalanan. Menurut saya, itu ide yang cerdas.

"Kita sewaktu-waktu bisa terbunuh. Tapi, sebelum kita mati, ya kita buat sebanyak mungkin lawan mati duluan." (hal. 257)

Jika dibandingkan dengan novel thriller karya Mas Brahmanto sebelumnya, novel inilah yang paling berkesan bagi saya. Mungkin, karena di sini penulis hanya fokus pada satu topik, sehingga cerita tergali lebih dalam. Lokalitas Papua, operasi militer, dan balutan thriller, ketiganya terasa seimbang, tidak ada yang dominan, juga tidak ada yang terkesan hanya tempelan. Saya juga tidak lagi menemukan kesan menggurui. Semua informasi disampaikan melalui dialog, sehingga terasa mengalir. Saya pun suka dengan penyelesaian konfliknya, tidak terlalu mudah, tapi juga tidak terlalu berbelit-belit. Selipan humornya juga terasa pas.

Untuk tokohnya, saya suka semua personil Tim Hantu, mereka sangat berkarakter. Menariknya, mereka saling menyapa menggunakan nama klub sepak bola dari daerah masing-masing. Ide ini pun tidak terkesan memaksa, apalagi aneh. Saya paling suka dengan pemain Persebaya, dia gokil, tapi terlihat jantan saat di medan perang. Saya juga suka dengan sahabatnya, si Tuan Takur. Tapi, yang paling saya idolakan tetaplah pemain Persija, komandan yang bisa bersikap santai tanpa melunturkan wibawanya.


Sementara itu, saya kesal dengan ending-nya yang sangat singkat. Saya bahkan tidak percaya kalau novel ini sudah tamat. Kasus penyanderaan memang tuntas, tapi setelah itu tidak ada kejelasan mengenai orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saya masih penasaran dengan riwayat pemain Persiwa. Saya juga ingin tahu bagaimana kelanjutan karier personil Tim Hantu, terutama Larung Nusa. Padahal, di awal sudah banyak disinggung mengenai keluarga Larung Nusa dan jabatannya. Pembaca juga sempat diperkenalkan dengan riwayat para personil Tim Hantu. Jadi, ketika kasus ditutup dan cerita pun selesai, rasanya seperti masih ada yang menggantung.

Satu hal yang sangat disayangkan dari novel ini, menurut saya, sinopsisnya bercerita terlalu jauh (baca: mengandung spoiler). Memang tidak detail, tapi cukup mengurangi ketegangan dan unsur misteri dalam novel ini. Tapi, novel ini tetap mampu membuat saya penasaran dengan dalang di balik drama penyanderaan tersebut, serta siapa saja yang dimaksud dengan tiga sandera terakhir. Saya salut pada riset yang dilakukan oleh penulis. Pasti tidak mudah. Saya pun berharap agar Mas Brahmanto tetap di jalur thriller, dan menjadikan kekayaan alam Indonesia sebagai inspirasinya.

Meskipun masih terdapat kekurangan, novel ini amat sangat layak dibaca oleh kalian para penggemar thriller, ataupun kalian yang ingin mengenal tanah Papua secara lebih dekat, dan juga ingin menambah wawasan tentang dunia militer. Secara keseluruhan, Tiga Sandera Terakhir bukan sekadar judul, tapi juga sebuah doa.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana