Review: Forgotten Colors


Judul           : Forgotten Colors
Penulis        : Valiant Budi
Penerbit      : GagasMedia
Cetakan      : Pertama, 2017
Tebal          : 258 halaman
ISBN           : 978-979-780-902-7








            Setelah dua tahun tak melahirkan karya, kini Valiant Budi kembali menyapa pembacanya. Penulis yang akrab disapa Vabyo itu mengungkapkan bahwa karya terbarunya ini merupakan bentuk fiksi dari kisah nyata yang ia alami selama tak menulis buku, masa ketika ia kehilangan kata-kata dan berpikir kariernya sebagai penulis telah berakhir.

Bercerita tentang Arka, seorang pelukis bangku taman yang ketika berada pada masa produktifnya justru harus menerima sebuah kenyataan pahit. Dokter memvonis, pembuluh darah di otak kirinya pecah. Strok hemoragik. Sulit bagi Arka untuk memercayai itu. Ia baru berusia 28 tahun, selalu menjaga makanan dan badan, tidak merokok, minum kopi dengan dosis sewajarnya, dan dari jenis jeroan, hanya gulai otak yang ia sukai. (hal. 42)

Sejak saat itu, Arka memulai hidupnya dari awal seperti seorang bayi. Ia harus kembali belajar berbicara dan berjalan, serta belajar mengingat-ingat kenangan. Arka tak mampu mengenali dirinya sendiri. Lupa bahwa ia adalah seorang pelukis. Tidak pula mengenali orang-orang terdekatnya. Arka bukan hanya kehilangan warna untuk melukis, tapi juga warna hidupnya. 

Yang lebih memprihatinkan, strok memaksa Arka untuk hidup di dua dunia; dunia nyata yang diselingi halusinasi dan dunia mimpi yang kadang bisa ia kendalikan semaunya. Saat ia berusaha keras menggali kenangan, ingatannya justru semakin kacau, sebab dalam mimpi dan halusinasinya ia selalu bertemu dengan makhluk-makhluk asing nan ganjil, membawanya ke tempat-tempat yang juga tidak ia kenali.

Kisah mengenai penyakit kronis yang menyerang orang-orang berusia muda mungkin bukanlah hal baru. Namun, Vabyo tak menjadikan Forgotten Colors ini berlangsung melankolis-dramatis seperti novel lain yang bertema serupa. Arka, selaku tokoh utama sekaligus narator, tampil sebagai sosok yang pantang menyerah, terus berjuang agar bisa hidup normal seperti sedia kala.

Tokoh lain yang cukup mencuri perhatian adalah Gelia, kekasih Arka. Gelia adalah satu-satunya orang yang percaya sepenuhnya pada mimpi-mimpi ganjil dan halusinasi Arka. Ia pun selalu memastikan asupan makanan untuk Arka. Gelia tak pernah lelah mencari zat-zat pengganti pantangan Arka, khususnya pengganti garam dan gula. Di sini pembaca juga bisa sedikit mencuri resep sehat ala Gelia, seperti resep telur dadar tanpa telur.

Meski Arka belum bisa mengingat kenangan diantara mereka, Gelia tidak pernah berubah, tetap setia mendampingi Arka, dan tak serta-merta menjadi pemurung. Ia tetaplah gadis yang periang dan menyenangkan. Bahkan, tak jarang Gelia justru menertawakan Arka yang pelupa dan tak bisa lagi menikmati makanan kesukaannya. Karakter Gelia banyak memberikan warna dalam novel ini. Di tengah kerumitan hidup Arka, sesekali pembaca akan dibuat tertawa oleh lelucon Gelia.

Salah satu keunikan Forgotten Colors, yaitu tidak ada tokoh yang memiliki nama kecuali Arka dan Gelia. Arka yang pelupa selalu menyebut orang-orang aneh yang ditemuinya sesuai ciri-ciri fisik mereka, seperti Lelaki Buaya, Perempuan Cadel, Ibu Payudara Satu, Raksasa Berkacamata, dll. Hal tersebut tentu memudahkan pembaca untuk mengingat masing-masing tokoh.

Selain itu, mimpi dan halusinasi Arka yang diciptakan oleh penulis mampu menumbuhkan suasana tegang dan sedikit mengecoh. Pembaca bisa merasa seolah berada di negeri yang asing, sekalipun fenomena di dalamnya terasa dekat.

Penulis bukan hanya menumpahkan pengalamannya saat mengidap strok. Ia juga menuangkan keresahannya terkait masalah sosial yang tengah terjadi di sekitar kita saat ini. Salah satunya tentu saja mengenai kebijakan sebuah rumah sakit. Berbagai kritik diungkapkan tidak semata-mata sebagai pemanis, tapi menjadi penggerak cerita.

Selain memberikan gambaran kehidupan pengidap strok, buku ini juga bisa menjadi sarana yang menyenangkan untuk mempelajari kinerja otak manusia. Pun tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia medis, sehingga kita bisa lebih awas terhadap strok sejak dini. Apalagi, kita sering kali abai atau bahkan tak menyadari gejala-gejala kecil dari sebuah penyakit.

Adapun kekuarangan novel ini, adalah kejutan yang dihadirkan datang sedikit terlambat. Itu mengakibatkan pembaca merasa bosan saat memasuki pertengahan cerita, karena tak kunjung menemukan arah yang jelas. Meskipun demikian, tak mengurangi kenikmatan saat membaca.

Sebagaimana peristiwa lain yang dibaliknya selalu terselip hikmah dan pelajaran, begitu pun dengan strok yang menimpa Arka. Penyakit yang semula ia rutuki itu pada akhirnya bisa ia syukuri. “Strok lambat laun justru membuatku tahu siapa diriku sebenarnya. Aku berterima kasih pada kenangan, baik ataupun buruk. Aku tak akan membiarkan kenangan pahit mmenghancurkanku, juga tak akan terlena dengan kenangan manis.” (hal. 255)

Novel yang terinspirasi dari kisah nyata dan dibalut dengan thriller-fantasi ini sangat layak dibaca. Mengutip dari situs pribadi Vabyo, “Buku ini bukan tentang kisah nyata, tapi pembaca bisa menemukan saya, bahkan dirimu di dalamnya”.  Maka, ketika Arka berhasil mengingat masa lalunya, barangkali justru pembacalah yang mulai bertanya dan mengingat-ingat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: No Place Like Home

Review: Sepotong Hati Yang Baru karya Tere Liye

Review: Blue Heaven Karya Mahir Pradana